
"MUKJIZAT" 1 DOLLAR 11 SEN
Seorang sahabat di luar negeri pernah mengirim sebuah email yang mengisahkan tentang Sally dengan tabungan 1 Dollar 11 Sen-nya.
Sally adalah anak pertama dari 2 bersaudara yang masih berusia 8 tahun. Belum lama ini dia harus berhadapan dengan kenyataan bahwa adiknya, George, sakit dan harus dioperasi. Orangtuanya yang berpenghasilan pas-pasan tidaklah mungkin untuk membiayai operasi yang mahal tersebut, apalagi jaminan asuransi kesehatan telah lama ditutup karena mereka tidak kuat membayar premi.
"Hanya doa dan mukjizat yang dapat menyelamatkan adikmu!" seru sang ayahnya kepada Sally.
"Mukjizat? Apa itu?" tanya Sally dalam hati.
Sesaat kemudian Sally masuk ke kamar dan berdoa untuk "mukjizat" yang dia harapkan, yakni kesembuhan adiknya.
Tidak lama setelah itu, Sally keluar kamar dan menemui adiknya. Dia ingin tahu, apakah dengan doanya tadi George sudah sembuh atau belum?
Ternyata, adik kesayangannya itu belum juga sembuh.
Lalu ia kembali ke kamar dan mengambil celengannya. Celengan itu lalu ia pecahkan sehingga uang logam yang ada di dalamnya berhamburan. Satu per satu uang itu dia pungut. Setelah dihitung, celengan itu ternyata berisi uang sejumlah 1 Dollar 11 sen.
Berbekal uang 1 Dollar 11 Sen tersebut, Sally kemudian pamit kepada orangtuanya guna membeli obat untuk adiknya di apotek seberang jalan.
Dengan terharu, sang ibu melepas Sally untuk membeli obat dengan nilai uang yang sebenarnya tidak mungkin untuk menebus obat yang dimaksud.
Sesampai di apotek, Sally tidak terlalu ditanggapi oleh petugas apotek, mungkin karena ia masih terlalu kecil untuk belanja. Berbagai cara dilakukannya untuk menarik perhatian petugas apotek, namun tidak juga berhasil.
Ternyata Sally tidak kehabisan akal, dengan sedikit terpaksa dia mengetuk-ngetuk etalase dengan uang logamnya sehingga mengeluarkan suara yang agak bising.
Akibatnya, dengan berang seorang petugas menghampiri Sally dan bertanya, "Mau apa kamu gadis kecil?"
Saya mau membeli 'mukjizat' untuk kesembuhan adik saya yang sedang sakit!" jawab Sally mantap sambil menunjukkan uang recehnya yang berjumlah 1 dollar 11 sen tadi.
Maaf gadis kecil, di sini kami tidak menjual 'mukjizat'. Kami hanya menjual obat-obatan. Silakan kembali kepada orangtuamu minta uang tambahan agar dapat membeli obat yang kamu maksud!" ujar petugas dengan nada kesal.
"Bu, tolonglah! Kata ayah, hanya 'mukjizat' yang dapat menyembuhkan adik saya. Mungkin ibu bisa menolong saya?" pinta Sally.
Belum sempat sang petugas menjawab, tiba-tiba seorang pria yang mendengar ucapan Sally menghampirinya.
"Siapa namamu, Nak? Memangnya 'mukjizat' seperti apa yang dibutuhkan oleh adikmu?" tanya pria tersebut.
Sally pun kemudian menceritakan hal ihwal dirinya serta keadaan yang saat ini ia alami, sementara pria itu dengan sabar mendengarkan cerita Sally. "Adik saya, George, sudah lama sakit dan harus dioperasi. Tetapi orangtua saya tidak punya uang untuk biaya operasinya.
Kata ayah, hanya mukjizat saja yang bisa menyembuhkan adik saya. Untuk itulah saya kemari, siapa tahu apotek ini menjual mukjizat' yang ayah saya maksud!" tutur Sally.
Semakin lama suara gadis kecil itu semakin parau. Bahkan, ketika menceritakan kondisi adiknya, Sally mulai menangis.
Cerita Sally tampaknya membuat hati pria itu tersentuh. "Sudahlah, Nak. Jangan menangis! Sekarang, dapatkah kamu pertemukan saya dengan kedua orangtuamu? Kalau bisa, saya ingin berkunjung ke rumahmu, sekaligus melihat kondisi adikmu yang sedang sakit itu." ungkap pria tersebut sambil memeluk Sally.
Usut punya usut, pria itu ternyata seorang dokter spesialis bedah terkenal, Carlton Armstrong namanya. Singkat cerita, George akhirnya berhasi dioperasi dengan lancar sehingga kondisinya pulih seperti semula. Operasi tersebut dilakukan langsung oleh Dr. Armstrong. Tidak hanya itu, Dr. Armstrong pun bahkan membebaskan seluruh biaya operasi.
"Operasi itu pasti sangat mahal. Kalau saja kamu tidak mempunyai keyakinan dan cinta kasih kepada adikmu, ibu tidak bisa membayangkan berapa harga yang harus dibayarkan untuk itu semua!" puji ibu Sally sambil memeluk putri kesayangannya.
"Bu, harga operasi itu 1 Dollar 11 Sen ditambah dengan mukjizat" jawab Sally dengan penuh sukacita.
Kukuatan cinta kasih adalah "mukjizat". Dalam arti keajaiban yang mampu membuat sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin.
"Mukjizat" dan pertolongan Sang Khalik, terkadang datang secara tidak terduga, namun selalu tepat, tidak pernah terlalu cepat dan tidak pernah datang terlambat.
Manusialah yang terkadang mempersepsikannya berbeda-beda.
Cinta kasih horizontal (kepada sesama) yang merupakan wujud cinta kasih kepada Sang Khalik, itu pulalah yang telah menggerakkan ribuan bahkan jutaan rakyat Indonesia untuk bahu-membahu membangun Aceh dan Nias akibat bencana tsunami akhir 2004 silam.
Dapat kita amati, setiap dompet peduli bencana dibuka, dengan serta merta semua orang ikut terlibat. Hal ini menunjukkan bahwa manusia, sebagai makhluk yang memiliki derajat tertinggi dibandingkan dengan makhluk lainnya, dibekali benih-benih cinta kasih.
Keserakahan, cinta akan uang, cinta kekuasaan maupun kehausan akan seks, inilah yang membuat benih-benih cinta kasih tersebut sulit tumbuh dalam wujud tingkah laku.
Dalam perwujudannya, cinta kasih akan semakin bermakna ketika ketulusan hadir saat kita membina hubungan dengan orang lain.
Cinta kasih, identik dengan pengorbanan dan sentuhan yang sungguh-sungguh dari seseorang terhadap orang lain. Tanpa pengorbanan dan ketulusan untuk rela memberi tanpa pamrih, cinta kasih menjadi bahasa yang tidak memiliki makna apa-apa.
Seorang dokter hewan di Eropa pernah melakukan penelitian terhadap perawatan 2 ekor anjing yang sama-sama tertabrak mobil. Kepada anjing yang satu diberi obat-obatan dan ruangan yang memadai, namun selama pengobatan anjing itu tidak pernah dielus-elus atau mendapatkan sentuhan langsung dari dokter yang merawatnya.
Sedangkan ruangan yang juga memadai, tetapi setiap hari sang dokter selalu mengelus-elus, membelai, dan "berbicara" kepada anjing tersebut.
Hasilnya menunjukkan bahwa anjing yang mendapat sentuhan kasih sayang, dielus-elus, dibelai, dan diajak bicara ternyata lebih cepat sembuh daripada anjing yang anjing yang satu lagi diberi obat-obatan dan tidak mendapat sentuhan kasih sayang.
Seorang kolega di Australia memiliki pengalaman lain yang cukup unik. Katanya, sapi yang diperah susunya dengan menggunakan tangan si peternak (diperah secara manual), ternyata lebih banyak mengeluarkan susu daripada sapi yang diperah dengan mesin pemerah.
Jika binatang saja membutuhkan sentuhan kasih sayang, apalagi manusia dalam mengasihi sesama.