
RUMAH
Suatu hari, Sephine bersama teman sekelasnya di Taman Kanak-kanak diminta oleh sang guru untuk membuat gambar keluarga.
Setiap anak pun mulai menggambar. Setelah selesai, gambar-gambar dikumpulkan dan dinilai. Hasilnya, Sephine mendapat pujian yang luar biasa.
Gambar yang dibuatnya mendapat nilai tanda bintang serta sebatang coklat dari sang guru. Betapa senangnya hati anak ini, gambarnya memperoleh apresiasi yang luar biasa dari gurunya.
Begitu tiba di rumah, ia pun buru-buru menunjukkan karya seninya kepada sang ibu.
Malam harinya, Sephine menunggu dengan setia kepulangan ayahnya. Begitu pintu diketuk dan namanya dipanggil, Sephine langsung berteriak, "Papa, Sephine punya gambar bagus tentang rumah Sephine dan coklat lagi dari ibu guru!"
Si ayah pur kaget, tetapi ikut senang dan mulai berdiskusi dengan anaknya untuk menanyakan gambar apa saja yang dibuat.
Mulailah Sephine bercerita, "Ini rumah kita Pa.. ini Mama, yang ini pohon, yang ini ada adik dan bibi, bagus 'kan?"
Si ayah mulai mengerutkan dahi sambil bertanya kepada anaknya, "Lho, dalam gambar itu Papanya mana?"
Dengan enteng Sephine menjawab, "Papa kan jarang di rumah!"
Home sweet home, begitu pepatah populer bertutur, bahwa rumah adalah segala-galanya bagi sebuah keluarga. Seindah-indahnya hotel, mess atau rumah orang, tetap lebih indah tinggal di rumah, di mana berkumpul satu keluarga yang penuh dengan kehangatan.
Persaingan bisnis dan tuntutan pekerjaan yang semakin tinggi membuat sebagian orang memiliki waktu yang sangat sempit untuk di rumah dan berkumpul dengan keluarga.
Bahkan, tidak jarang banyak para praktisi bisnis yang sudah diperbudak oleh pekerjaan sehingga melupakan rumah yang menjadi tempat berkumpulnya seluruh anggota keluarga.
Selain itu, makan bersama dengan anggota keluarga sudah merupakan barang yang sangat langka di tengah-tengah kesibukan pekerjaan yang sudah semakin meningkat.
Bagi seorang anak, rumah merupakan jenjang pendidikan pertama sebelum menapaki pendidikan formal dan masyarakat, di mana kedua orangtuanya menjadi guru terbaiknya. Bagi orang tua, rumah merupakan laboratorium untuk melatih sikap mental yang benar dalam memahami hubungan antar manusia.
Bahkan, beberapa ahli melihat, rumah merupakan leadership training center bagi seorang pemimpin, dengan asumsi bagaimana mungkin seseorang bisa memimpin sebuah organisasi dengan baik jika rumahnya sendiri sulit dipimpin.
John C.Maxwell, dengan indahnya pernah berkata, "Yang jelas, ada korelasi antara sukses keluarga dan sukses pribadi."
Kehangatan rumah, yang di dalamnya terbentuk jalinan komunikasi harmonis dan saling memperhatikan, akan memperkuat setiap individu yang ada di dalamnya menghadapi sejumlah tantangan di luar.
Pondasi keagamaan yang kuat di rumah sampai kapan pun tetap menjadi fokus utama pembentukan mental yang kuat.
Kepala rumah tangga, yang dalam hal ini adalah seorang ayah, sebenarnya bertanggung jawab sebagai arsitek sekaligus pekerja dalam membangun pondasi ini.
Bersama sang ibu, sang ayah bahu-membahu membangun tiang-tiang pancang moral dan dinding-dinding kompetensi bagi anak-anaknya yang pada akhirnya akan menelurkan pribadi-pribadi yang kuat di masyarakat.
Itulah sebabnya Josh Mc Dowell bertutur, "Hal terbesar yang dapat diperbuat seorang ayah bagi anak-anaknya adalah mengasihi ibu mereka. Dan hal terbesar yang dapat diperbuat seorang ibu bagi anak-anaknya adalah dengan mengasihi ayah mereka."
Memang agak dilematis, ketika seseorang dihadapkan pada satu pilihan antara keluarga dan karier. Seorang kolega yang berprofesi bankir (bekerja di Bank) mengatakan bahwa yang penting adalah Quality Time-nya, yakni bukan berapa banyak waktu yang kita berikan kepada keluarga, melainkan apa yang sudah dilakukan secara bermakna bersama keluarga ketika kita kumpul bersama mereka.
Ada kalanya, kesempatan kumpul dengan keluarga justru dipergunakan untuk menjalankan hobinya atau bertemu dengan teman-teman lamanya daripada bercengkrama dengan keluarga sendiri.
Bahkan, seorang klien pernah mengeluh sering sakit kepala setiap kali suaminya pulang pada akhir pekan, bukan malah bahagia.
Telusur punya telusur ternyata sang istri sangat berharap sang suami pulang bisa bercengkrama dengan keluarganya, tetapi justru sang suami sibuk main gapleh bersama tetangganya dengan alasan menghilangkan stres.
Berada di rumah memang bukan segala-galanya, namun penting. Berkarier dan berada di luar rumah mungkin terbatas hingga usia pensiun, namun berada dan membina hubungan yang baik di rumah tidak berbatas waktu.
Perusahaan yang memerlukan tenaga kita di luar rumah, suatu saat pun akan berhenti begitu memasuki usia pensiun, tetapi keluarga memerlukan keberadaan kita seumur hidup.
Dalam seminar-seminar rumah tangga sering terjadi anekdot, pada waktu anak-anak masih kecil selalu minta diperhatikan orangtuanya dan diajalk main, namun sang ayah selalu punya alasan sibuk di kantor.
Begitu sang ayah pensiun, tinggal sendirian di rumah minta ditemani bercakap-cakap, kembali sang anak yang akan mengatakan sibuk kuliah dan kegiatan-kegiatan lain.
Memang pepatah mengatakan, "Apa yang ditabur, itu pula yang dituai" agaknya masih menggema hingga saat ini.
Perlu kejernihan hati dan kebijaksanaan yang sungguh-sungguh dalam mengatur waktu untuk keluarga dan karier, mengingat memberikan perhatian yang optimal kepada keluarga merupakan investasi seumur hidup yang tidak akan dilupakan oleh keturunan kita kelak.
Home sweet home!