
MUDIK
Seorang tentara bergegas pulang ke rumah dari medan perang karena ayahnya sakit keras dan mungkin akan segera meninggal. Pengecualian itu diberikan bagi dia karena ia adalah anak satu-satunya yang dimiliki sang ayah yang sebatang kara.
Kepulangannya dari medan perang bertepatan pula dengan hari Lebaran yang jatuhnya hampir bersamaan. Ketika ia menuju ruang gawat darurat, tiba-tiba ia melihat bahwa ayahnya dalam keadaan kritis lengkap dengan selang-selang dan tabung-tabung penyelamat.
"Berapa lama lagi ia akan hidup?" tanyanya kepada dokter.
"Tidak lebih dari beberapa jam lagi" dokter tersebut menjawab dengan sedih.
Tentara tersebut lalu maju dan memegang tangan ayahnya yang sudah mengecil itu sambil berkata pelan, "Pak, saya di sini. Saya kembali" Orangtua yang akan mati tersebut memegang tangan anaknya.
Matanya sudah tidak lagi dapat terbuka untuk melihat sekelilingnya. Akan tetapi, sebersit senyum yang mekar dari wajahnya menunjukkan rasa puas. Senyuman itu tetap tinggal di wajahnya sampai ia meninggal satu jam kemudian.
Dia pergi meninggalkan dunia ini dengan penuh kebahagiaan, karena keinginannya untuk bersama dengan anak tunggalnya pada detik-detik terakhir dan suasana lebaran terakhir terpenuhi.
Di pihak lain, si anak juga berbahagia karena bisa menghantarkan kepergian sang ayah dalam suasana Hari Kemenangan yang sudah puluhan kali ia lewati tanpa bersama ayahnya. Mudik merupakan suatu fenomena sosial yang menunjukkan ikatan kekeluargaan yang sangat kental, khususnya di Indonesia.
Beberapa sosiolog memprediksi, sekalipun teknologi sudah demikian berkembang dan lebih praktis, namun fenomena mudik tidak akan hilang. Hal ini disebabkan karena mudik berkembang bukan hanya sekadar fenomena sosial, melainkan sudah menjadi kebutuhan bagi sebagian besar masyarakat pada saat menghadapi hari-hari besar agama.
Cendikiawan Nurcholis Majid pernah mengatakan bahwa mudik merupakan fenomena kembali ke asal. Kembali ke asal, karena di sanalah setiap orang akan menemukan kebahagiaan.
Hal ini terbukti darı cerita-cerita pemudik. Sekalipun mereka harus berdesak-desakan antri untuk memperoleh tiket dan menempuh perjalanan yang macet dan melelahkan, namun akhimya semua itu sirna begitu saja setibanya di tempat tujuan.
Kebahagiaan bertemu dengan orangtua atau sanak saudara di kampung halaman dalam sekejap telah menghilangkan segala keluhan tentang perjalanan mudik yang begitu ruwet.
"Di sinilah seninya mudik!" demikian biasanya komentar para pemudik. Setelah sekian lama berada di kampung halamannya, maka setiap pemudik mengingat untuk kembali ke asalnya (arus balik), karena di sanalah kebahagiaan muncul melalui perjuangan hidup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan merenda masa depan yang gemilang.
Tidak heran pula jika mudik diïibaratkan mendaki puncak gunung, dan setelah tiba di sana kita tidak bekerja melainkan menikmati pemandangan dan kebersamaan yang menakjubkan. Namun, tidak berlamalama di puncak gunung, karena dalam waktu yang relatif singkat harus turun kembali ke lembah karena di sanalah lahan kita untuk bercocok tanam.
Mengapa kembali ke asal begitu membahagiakan? Karena dari sanalah tapak-tapak keberhasilan dimulai.
Di samping itu, dari sana pula jalinan cerita-cerita nostalgia masa kecil dibangun, cerita itulah yang akan semakin memperkokoh ikatan tali persaudaraan.
Itulah sebabnya John Howard Payne pernah bersenandung melalui lagunya yang sangat terkenal, "Di tengah kemewahan dan istana-stana, ke mana pun kita mengembara, sekalipun amat sederhana, tidak ada tempat yang lebih indah daripada rumah kata sendiri (home sweet home)
Di pihak lain, mereka yang berada di penghujung kehidupan atau di penghujung karier, menceritakan hal-hal nostalgia kesuksesan masa lalu merupakan kebahagiaan yang luar biasa. Ibarat aliran sungai yang tidak habis-habisnya untuk diceritakan secara berulang-ulang.
Mudik, berarti mengingatkan umat manusia untuk suatu saat kembali ke asal, menghadap Sang Khalik.
Ketika "lonceng panggilan untuk pulang sudah berdentang, saatnya manusia bersiap-siap mempertanggungjawabkan seluruh hidupnya di hadapan Sang Khalik."
Bagi mereka yang telah melakukan hal-hal yang berkenan dan sesuai dengan perintah-Nya, memenuhi panggilan untuk kembali ke asal menghadap Sang Khalik merupakan kebahagiaan yang sempurna.
Kebanyakan orang yang mudik untuk merayakan hari-hari besar agama biasanya pulang dengan membawa harta hasil jerih payahnya selama bekera beberapa tahun di perantauan. Hal ini juga sekaligus menjadi prestise yang bersangkutan ketika tiba di daerah asalnya.
Berbeda ketika kita pulang menghadap Sang Khalik, tidak ada harta maupun jabatan yang dibawa.
Suatu kebahagian yang luar biasa ketika setiap manusia yang dipanggil dapat membawa serta iman, amal perbuatannya, serta buah-buah perbuatan cinta terhadap sesama maupun keberanian yang pernah dilakukan untuk menegakkan kebenaran.
Mereka yang kembali ke asal dengan kemurungan adalah ketika sadar bahwa harta yang dikumpulkan selama ini, ketenaran, dan jabatan yang telah digapai akhirnya tinggal di bumi.
Ketika "Buku Kehidupan" dibuka Sang Khalik, namanya tidak tercantum di sana karena selama di bumi terlalu sibuk dengan hal-hal yang sifatnya duniawi, lupa mengumpulkan harta spiritual, apalagi untuk mengimplementasikannya.
Mudik, sekaligus mengingatkan apa yang pernah dituturkan CS. Lewis, "Kalau Anda hidup untuk dunia mendatang, Anda peroleh yang stkarang ini sabaga satu paket. Akan tetapi, kalau Anda banya hidip untuk dunia yang sekarang, Anda kehilangan kedua-duanya.
"Selamat mempersiapkan diri untuk mudik spiritual!