
TABUR TUAI
RRC (Republik Rakyat Cina) terkenal sebagai negara berpenduduk terbanyak di dunia.
Beberapa puluh tahun silam, di salah satu provinsinya ada seorang ibu yang ditinggal suaminya ketika anak-anaknya masih kecil dan cukup banyak. Bahkan anak yang paling bungsu lahir pada saat negara dalam masa paceklik yang sangat hebat akibat peperangan. Anak yang banyak dalam tiap keluarga membuat beban tersendiri bagi mereka untuk berjuang hidup.
Suatu hari si ibu bermaksud untuk "melepas" anak bungsunya ini, karena merasa tidak mampu lagi untuk merawat dan memeliharanya.
Caranya cukup unik, dia meletakkan sang bayi dalam suatu keranjang dan keranjang tersebut diletakkan di tengah jalan kecil yang sepi dengan uang sekitar 200 Yuan. Kemudian dia pun meninggalkan bayinya itu.
Di dalam keranjang itu terdapat tulisan dalarm kanji, "Bapak atau Ibu yang mulia, saya merasa tidak sanggup lagi merawat dan memelihara bayi saya ini. Di sini saya titipkan uang 200 Yuan bagi Bapak atau Ibu yang bersedia meravat bayi ini. Sekalipun kita belum pernah yang berjumpa, saya mengucapkan banyak terima kasih bagi yang terbeban merawatnya."
Selang beberapa waktu lewatlah seorang pengantar barang (kurir) dengan mengendarai sepeda. Betapa kagetnya yang bersangkutan ketika dilihatnya di tengah jalan ada sebuah keranjang yang dibungkus dengan bagus. Jantungnya semakin berdegup keras kala di dengarnya suara seorang bayi keluar dari keranjang tersebut.
Hatinya terenyuh ketika membaca surat yang menyertai keranjang bayi tersebut, dan ada maksud untuk melaksanakan amanah merawat bayi itu. Toh, istrinya pasti setuju mengingat anak mereka baru seorang.
Setelah dipikir-pikir, muncul pemikiran lain. Lebih baik hanya mengambil uangnya saja, tidak repot dan seluruh impiannya pasti terpenuhi dengan uang sejumlah itu.
Untuk menghilangkan bekas ia bermaksud menggilas bayi tersebut agar tidak ketahuan orang.
Setelah mengambil uang yang 200 Yuan, ia memundurkan sepedanya lalu menggilas keranjang yang berisi bayi tersebut. Dia pun berlalu tanpa ada orang yang tahu.
Pikirnya semua pasti beres, dia mendapat uang yang senilai dengan gajinya beberapa bulan. Namun, hatinya gelisah, telinganya seperti mendengar sayup-sayup tangisan bayi ketika digilas. Di hadapannya terbentang bayangan yang menuduh dia telah membunuh bayi tersebut.
Akhirnya, dia pun tidak tenang. Bahkan ketika sampai di rumah, dia merasa takut sekali. Dia khawatir kalau peristiwa pembunuhan yang dilakukanya bisa menggiringnya ke penjara yang sekaligus menamatkan kariernya.
Di pihak lain, ada suara yang mengatakan, "Toh, tidak ada yang tahu. Apalagi cuma seorang bayi yang dibuang, yang penting uang dapat banyak"!
Sedang asyik-asyiknya menimang-nimang uang, tiba-tiba pria ini berkali-kali mendengar ketukan pintu yang sangat keras diringi teriakan, "Anak siapa yang mati tertabrak, apakah anakmu, cepat buka pintu!"
Spontan dari dalam ia menjawab dengan nada membela diri, "Bukan, bukan saya yang menabraknya Sumpah!
Kalimat itu berkali-kali diucapkan sambil membuka pintu, hingga akhirnya polisi membawa mayat seorang anak yang tertabrak kereta kuda persis di depan rumah lelaki itu. Sungguh ironis! Ternyata anak itu adalah anak semata wayangnya.
Tidak cuma itu, polisi pun menaruh curiga dan melacak ucapan lelaki ini dengan ditemukannya seorang bayi yang tergilas di jalan lain.
Akhirmya, selain harus kehilangan anak yang dikasihinya, ia pun harus masuk penjara.
Bagaimana akhir hidup tergantung dari bagaimana kita memulai dan menjalani hidup. Inilah bagian yang penting dari hukum tabur tuai. Apa yang ditabur, itu pula yang akan dituai kemudian hari.
Manusia tidak bisa melepaskan diri dari penuaian akan apa yang telah ditabur. Tuaian bisa berupa penghakiman (seperti cerita di atas) atau pahala atas kebaikan yang telah dibuat.
Tidak selalu menabur kebaikan kepada orang tertentu akan menuai kebaikan pula dari orang tersebut, namun yang pasti menabur hal-hal yang tidak baik, suatu saat akan menuai akibatnya. Dinamika keseimbangan hidup dimulai dari hukum ini.
Orang tua yang menabur benih-benih harta kepada anak-anaknya akan menuai anak-anak yang sensitif terhadap pelanggaran moral.
Orang tua yang tidak mendidik anak-anaknya ketika mereka sangat membutuhkan perhatian dan bimbingan akan menuai hari tua yang melelahkan.
Bahkan nilai uang yang kita terima dengan cara-cara yang tidak halal, suatu saat kita akan menuai dampak dari ketidakbenaran tersebut.
Mungkin pula bukan kita yang menuai, namun yang lebih menyedihkan ketika anak-anak yang kita kasihi dengan sangat terpaksa terkubur masa depannya hanya karena telah menuai perbuatan orangtuanya.
Seorang kolega yang sudah bertobat mengaku, setiap nilai uang yang diperoleh dengan tidak halal dalam bisnisnya selalu saja membuat di rumahnya ada yang sakit atau masalah yang membuat uang yang diperolehnya tersebut hilang kembali dengan begitu mudah.
Sekali lagi, yang penting bukan bagaimana kita memulai, namun di mana dan bagaimana kita mengakhiri kehidupan dan karier ini yang lebih bermakna. Itulah sebabnya selagi masih ada waktu, hendaklah setiap jengkal ayunan langkah dan setiap kata yang terucap kiranya menjadi berkah bagi orang lain.
Selagi masih ada kesempatan sebagai karyawan, menabur kebaikan dan kerajinan akan membuat dia semakin mengerti arti kepemimpinan ketika menjabat kelak. Ketika diberi amanah sebagai pemimpin, hendaklah masing-masing kita menabur kebijaksanaan, kerendahan hati, kepedulian, dan keteladanan.
Kelak kita akan menuai kebahagiaan tanpa penyesalan ketika amanah tersebut suatu saat ditarik kembali. Apa yang ditabur selagi masih menjadi pegawai aktif, bukan tidak mungkin kita akan menuai pada masa pensiun kelak. Dan, apa yang ditabur selama masih hidup tetap akan dituai dan dipertanggungjawabkan di hadapan Sang Khalik Yang Maha adil dan Maha tahu kelak.
Selamat menabur benih yang baik dan halal!