SETENGAH ISI, SETENGAH KOSONG

Seorang staf muda bagian promosi produk pakaian dalam wanita diminta oleh pimpinannu untuk melakukan survei pasar di lokasi pedalaman. Hal itu dilakukan untuk melihat  kemungkinan ekspansi pasar di sana. 

Hari pertama berada di lokasi membuatnya frustasi karena melihat hampir semua wanita suku pedalaman ini tidak menggunakan pakaian, apalagi pakaian dalam. "Tidak mungkin melakukan ekspansi ke tempat ini!" katanya mantap, lalu ia pun pulang ke kantor pusatnya.

Si pimpinan tidak percaya dan mengirim staf muda lainnya untuk mencari pendapat kedua. Begitu tiba di lokasi, si staf muda yang kedua ini langsung terperangah menyaksikan ada banyak  wanita suku pedalaman yang tidak menggunakan pakaian dalam. 

"Ini kesempatan emas, justru melalui ekspansi pasar membuat mereka semakin beradab!" sergahnya dengan penuh optimisme. Ia pun segera menghubungi kantor pusatnya, menginformasikan bahwa ada ladang baru yang harus digarap.

Dua orang yang berbeda, namun dari latar belakang perusahaan yang sama dan melihat situasi yang sama, namun memiliki cara pandang yang berbeda. Satu optimis dan yang lainnya pesimis. Perubahan situasi pasar dan lingkungan bisnis membuat setiap individu merespon dengan cara yang berbeda pula.

Mutasi yang mendadak dari kantor pusat ke daerah, terkadang memunculkan pıkiran bahwa ini adalah akhir dari segala-galanya. 

Pengalihan tugas ke tempat atau unit kerja tertentu, terkadang membuat kita meng klaim diri sedang dibuang. Bahkan, ketika memasuki usia pensiun, sering direspon sebagai malapetaka yang besar, karena ada bagian dari dirinya yang telah hilang sama sekali. 

Pergumulan hidup apa pun yang dialami manusia (maupun perusahaan) acapkali dimaknakan sebagai sisi gelap dari perjalanan karier dan kehidupan seseorang. Padahal pepatah bijak menyebutkan, "Bukan peristiwanya yang penting, melainkan bagaimana cara kita merespon peristiwa yang terjadi tersebut yang akan menentukan kualitas diri kita."

Satu ilustrasi dalam pelatihan motivasi yang lazim sering dilakukan adalah dengan mengambil sebuah gelas yang setengahnya berisi air. 

Setiap orang diminta untuk mengatakan apa yang dilihatnya. 

Sebagian mengatakan gelas itu setengah kosong dan sebagian lagi melihat gelas tersebut setengah masih berisi. Dilihat dari 'kebenaran' berdasarkan fakta, kedua jawaban tersebut benar. 

Di balik itu semua, yang menarik adalah cara pandangnya. Coba kita perhatikan dengan seksama, mereka yang mengatakan gelas tersebut setengah kosong mengilustrasikan cara pandang yang pesimis, sedangkan yang melihat gelas tersebut setengah masih ada isinya, bahkan dengan semangat mengatakan, "masih ada satengah lagi, Pak!" mengilustrasikan cara pandang yang positif (optimis).

Ilustrasi ini dapat kita rasakan sebagai contoh ketika jam kerja menunjukkan sudah menunjukkan pukul 15.45 WIB, dan kita diminta untuk  melakukan pekerjaan tertentu. 

Sebagian orang dapat saja mengatakan, "Ah, tanggunglah, besok saja. Sebentar lagi juga pulang!". 

Sebagian lagi justru mengatalan yang sebaliknya, "Mari saya kerjakan, mumpung masih ada waktu 15 lagi. Besok kita punya pekerjaan lain!" 

Waktunya sama, namun cara kita memandang untuk bersikap terhadap waktu yang sisa 15 menit tersebut tentu berbeda-beda.

Di lain pihak, dari sisi bisnis, tentu setiap orang pun dapat melihat dengan cara pandang yang berbeda terhadap situasi yang melanda perusahaan. 

Perkembangan perusahaan bisa bertahan (survive) dan tumbuh  (growth) atau tidak, juga bergantung bagaimana karyawan memandangnya.

Dalam kehidupan hubungan antar pegawai pun demikian. Cara kita memandang orang lain akan sangat mempengaruhi bagaimana hubungan kita dengan orang tersebut selanjutnya. 

Ada saja orang yang berkutat pada sisi negatif orang lain dibandingkan potensi-potensi yang masih dimilikinya. Masih ada juga segelintir orang yang lebih suka menceritakan "gelas kosong orang lain daripada "gelas isi" dirinya.

Para ahli mengatakan bahwa cara pandang ini sangat besar dipengaruhi oleh apa yang masuk melalui pikiran. Baik itu melalui media bacaan, tontonan, maupun hasil perbincangan dengan orang lain, juga sistem pola asuh di rumah. 

Menariknya lagi, cara pandang ini tidak ada hubungannya dengan gelar yang disandang, pangkat, jabatan serta kekayaan seseorang. Semua hal ini semata-mata tergantung daripada kualitas mental seseorang.

Bagaimana "gelas" keluarga kita saat ini, bagai mana "gelas" perjalanan karier kita selama menatapi jalan-jalan menuju ke kantor, bagaimana pula "gelas" perusahaan dalam perkembangan terakhirnya. Semua tentu tidak ada yang penuh, dan pasti ada bagian-bagian yang kosong. 

Satu langkah yang penting untuk melaluinya dengan efektif adalah dengan memaknainya pada sisi yang masih terisi. Melalui pemaknaan yang demikianlah kita akan mampu berbuat kreatif dan berbuat banyak bagi perusahaan, keluarga, dan diri sendini.

John Wesley pernah bertutur, "Lakukan yang terbaik yang bisa Anda lakukan, dengan segenap kemanpuan, dengan cara apa pun, di mana pun, kapan pun kepada siapa pun, sampai Anda sudah tidak mampu lagi melakukannya".


Sumber:  "Setengah Isi Setengah Kosong"