
SElLAMA GUNTING MASIH TAJAM, HARAPAN JUGA MASIH HIDUP
Di sebuah gang kecil, berdiri kios cukur tua dengan papan kayu yang catnya mulai pudar: “Cukur Pak Didi – Sejak 1998”. Di dalamnya, Pak Didi duduk termenung di kursi rotan yang sudah reot, menatap bayangan dirinya di cermin besar yang mulai kusam.
Dulu, tiap akhir pekan, anak-anak antre sambil membawa uang recehan dari orang tuanya. Mereka suka mendengar celoteh Pak Didi, yang selalu menyisipkan cerita lucu di sela-sela guntingan.
Sekarang, semua berubah. Anak-anak itu sudah besar, dan lebih memilih barbershop modern dengan musik keras dan gaya rambut Korea. Sedangkan Pak Didi tetap dengan minyak rambut murahan dan bedak tabur khas tukang cukur lama.
Seminggu bisa tak ada satu pun pelanggan. Satu-satunya suara yang terdengar hanya kipas angin tua yang mengerang pelan. Tapi Pak Didi tetap datang setiap pagi, menyapu lantai, merapikan alat, dan menunggu.
Suatu hari, seorang anak muda datang. Rambut gondrong, jaket lusuh, dan wajah lelah. “Pak, saya mau cukur... Tapi cuma punya lima ribu.”
Pak Didi hanya tersenyum. “Duduklah. Gunting ini gak akan berkarat cuma karena rezeki kecil.”
Setelah selesai, anak muda itu tampak segar. Sebelum pergi, ia mengangkat HP-nya dan memotret Pak Didi sambil berkata, “Pak, boleh saya upload ke TikTok? Biar orang tahu, masih ada tukang cukur jujur kayak Bapak.”
Pak Didi hanya tertawa kecil. “Silakan, Nak. Tapi jangan buat saya jadi selebritas, ya.”
Seminggu kemudian, warung sebelah kaget. Orang-orang mulai datang, banyak yang bilang, “Saya lihat Bapak di TikTok! Mau ngerasain cukur ala nostalgia.”
Kursi rotan itu mulai sibuk lagi. Gunting tua itu kembali berbunyi. Dan Pak Didi, dengan kerutan di wajah dan tangan yang mulai gemetar, masih percaya satu hal:
“Selama gunting ini masih tajam, harapan juga masih hidup.”