SEGELAS SUSU

Suatu hari, seorang anak lelaki miskin yang hidup sebagai pedagang asongan dari pintu ke pintu (biasanya dilakukan di kompleks-kompleks Rumah dinas) kehabisan uang.

Kondisinya saat itu sangat lapar. Anak lelaki tersebut memutuskan untuk meminta makanan dari rumah berikutnya.

Akan tetapi, dia kehilangan keberanian saat seorang ibu muda istri pejabat membuka pintu. Anak itu tidak jadi meminta makanan, ia hanya berani meminta segelas air. Ibu muda tersebut melihat dan berpikir bahwa anak lelaki itu pastilah lapar. Oleh karena itu, ia membawakan segelas besar susu.

Kemudian, anak lelaki tersebut minum dengan "lahap"-nya dan bertanya, "Berapa saya harus membayar untuk segelas besar susu ini?"

Ibu itu menjawab, "Kamu tidak perlu membayar apa pun, orang tua kami dulu mengajarkan untuk tidak menerima bayaran jika melakukan suatu kebaikan," kata ibu itu menambahkan.

Sambil menghabiskan susunya, anak lelaki tersebut berkata dalam hatinya: "Dari hatiku yang terdalam, aku sangat simpati pada ibu yang berbaik hati ini, dia tidak sombong sekalipun istri pejabat!"

Beberapa puluh tahun kemudian, ibu muda dahulu (yang kini sudah agak lanjut usianya) mengalami sakit yang sangat kritis. Balai pengobatan sudah tidak mampu lagi mengobati penyakit komplikasinya, apalagi saat ini ia berstatus janda seorang pensiunan kereta api.

Atas saran keluarganya, si wanita ini dipindahkan ke Rumah Sakit Umum Pemerintah yang ada di kota tersebut untuk diobservasi.

Namun, tetap saja tidak bisa diobati. Akhirnya, dengan menjual barang-barang tersisa dan atas bantuan rekan-rekan sesama janda pensiunan, si wanita muda ini dikirim ke ibukota karena di sana ada dokter yang yang mampu mengobati penyakit komplikasinya itu.

Dr. Sobur Nurjaman Ali dipanggil untuk melakukan pemeriksaan.

Pada saat ia mendengar nama kota asal si ibu tersebut, terbersit seberkas pancaran aneh pada mata Dr. Sobur. Segera ia bangkit mengenakan jubah dokternya dan bergegas turun melalui aula rumah sakit menuju kamar si wanita tersebut.

Ia langsung mengenali wanita itu dengan sekali pandang.

Dr. Sobur kemudian kembali ke ruang konsultasi dan memutuskan untuk melakukan serangkaian medical check up total serta terapi-terapi medis lainnya.

"Pokoknya, ibu tersebut harus sembuh," demikian obsesinya.

Mulai hari itu, si ibu yang tergolek lemah tersebut menjadi perhatian Dr. Sobur dengan kasih yang tulus. Memasuki bulan ketiga di rumah sakit tersebut ternyata si ibu benar-benar sembuh.

Lalu, Dr. Sobur meminta bagian keuangan rumah sakit untuk mengirimkan seluruh tagihan biaya pengobatan kepadanya guna persetujuan. Dr. Sobur melihatnya, dan menuliskan sesuatu pada pojok atas lembar tagihan tersebut.

la sangat yakin bahwa ibu ini tidak akan mampu membayar tagihan tersebut walaupun harus dicicil seumur hidupnya. Bisnis yang dirintis bersama sang suami (almarhum) ketika memasuki pensiun gagal karena ditipu orang, demikian cerita si ibu kepada Dr. Sobur beberapa waktu lalu. Hal ini pula yang membuat ia jatuh miskin, dengan seorang anak yang saat ini juga pengangguran.

Lembar tagihan akhirnya sampai ke tangan ibu yang malang itu. Dengan rasa was-was ia memberanikan diri membaca tagihan yang disodorkan bagian keuangan. Di sana tertera rincian biaya yang dikeluarkan selama ia menjalani pengobatan.

Akan tetapi, ada sesuatu yang menark perhatiannya pada pojok atas lembar tagihan tersebut.

la membaca tulisan yang berbunyi: "Telah dibagyar lunas dengan segelas besar susu!" Tertanda: Dr. Sobur Nurjaman Ali.

Ketika ditanya, apa yang paling membuat kebahagian manusia saat ini. Mungkin jawaban yang paling tepat adalah dengan memberi kebahagiaan bagi orang lain (K.G. Lim, 1995). Memberi memang lebih indah daripada menerima.

Memberi merupakan wujud kerendahan hati kita di hadapan Sang Pencipta. Bahkan, seorang klien pernah bertutur: "Kalaulah setiap orang di perusahaan mau memberi dan tidak berharap menerima, niscaya perusahaan tersebut akan kuat dan survive!" 

Memberi berarti melakukan inisiatif pertama tanpa mengharapkan balasannya, karena apa yang dilakukan telah diperhitungkan oleh Sang Pencipta sebagai bagian dari kasih dan amal terhadap sesama.

Para psikolog di Eropa telah melakukan serangkaian percobaan longitudinal dan menarik kesimpulan bahwa orang yang selalu memberi tanpa berharap balasan ternyata memiliki daya tahan mental yang tinggi, lebih mampu menghadapi cobaan hidup, dan terhindar dari penyakit-penyakit yang diakibatkan oleh stres.

Tidak selamanya hidup ini stabil, ada saatnya kita mengalami goncangan hidup.

Jabatan, kekayaan dan fasilitas yang dimiliki saat ini merupakan "baju" yang bisa dilepas setiap saat.

Namun, kebahagiaan yang diperoleh melalui memberi dengan tulus adalah sesuatu yang abadi.

Zig Ziglar (2000) pernah mengatakan, "Kita semua pernah melemparkan batu ke dalam kolam atau danau dan mengamati, sementara lingkaran yang semakin besar terbentuk pada airnya."

Apa yang diberikan, baik itu berupa senyuman, pujian yang tulus, dekapan perhatian, ucapan selamat, bahkan materi yang dimiliki secara langsung atau tidak langsung akan memberi dampak yang besar baik bagi si penerima maupun si pemberi.

Segelas susu yang diberikan si ibu muda tadi telah memberikan dampak luar biasa bagi seorang anak yang ternyata adalah Dr. Sobur Nurjaman. Ketika memberi segelas susu bagi seorang anak miskin tersebut, si ibu tidak berpikir balasan yang akan diperoleh dari anak tersebut sekarang maupun nanti.

Semua sudah ada yang mengatur. Memberi dari kelebihan mungkin hal biasa yang sudah seharusnya dilakukan. Namun, ketika memberi Di saat kita kekurangan, di sinilah pemaknaan hidup yang lebih tinggi lagi.

Kini, apa yang kita miliki saat ini sudah saatnya kita bagikan pada orang lain. Bukankah semua yang kita miliki saat ini, sebagian adalah milik orang-orang yang memerłukannya, yang memang seharusnya kita berikan?

Mari kita memberi, karena perbedaan antara pengertian hemat dan pelit hanya dibatasi selaput yang sangat tipis.

Selamat memberi!