
EWUH PAKEWUH
Alkisah, pada zaman dulu ada seorang ibu yang sedang mengandung anak kembar laki-laki.
Tidak ada tanda-tanda kelainan dalam masa kehamilan ibu tersebut hingga mendekati bulannya untuk melahirkan. Namun, memasuki hari ke-10 pada bulan yang kesembilan tidak ada tanda-tanda akan melahirkan.
Si ibu pun bersabar, mungkin karena kembar dan laki-laki lagi. Dia pun bekerja seperti biasanya berdagang kelontong di pasar pagi.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, serta tahun berganti tahun, si ibu itu belum juga melahirkan, sementara perut sudah semakin membesar dan makanan yang masuk pun semakin banyak.
Hingga memasuki tahun keempat puluh kehamilannya, para pemuka adat dan tabib berencana mengeluarkan bayi dewasa yang ada dalam kandungan ibu tersebut. Hal ini dilakukan mengingat kondisi ibu yang sudah semakin lelah dan bertambah tua.
Operasi mengeluarkan sang bayi pun direncanakan dengan melibatkan tabib-tabib senior yang ada di negeri tersebut. Syukurlah, operasi kandungan ini berjalan lancar.
Ketika kandungan dibuka tampak dua orang manusia yang sudah berjanggut dan berkumis dengan ibu jari yang saling menunjuk rekannya.
Karena sudah empat puluh tahun, jadi mereka sudah cukup dewasa dan tabib yang mengoperasi bertanya, mengapa mereka tidak keluar-keluar (lahir) dari kandungan sejak usia 9 bulan 10 hari yang lalu.
Mereka menjawab sambil menunjuk rekannya, "Kami saling mempersilakan. Saya meminta supaya dia terlebih dahulu keluar, dia pun demikian selalu mempersilakan saya untuk keluar duluan, terus saja demikian hingga Anda para tabib membuka pintu kandungan ini."
Budaya ewuh pakewuh (sungkan) dalam batas-batas normal akan meningkatkan kualitas hubungan seseorang dan semakin meningkatkan tali silaturahmi dalam kumpulan atau organisasi.
Budaya demikian merupakan cerminan budaya Timur yang sangat menghargai orang lain dan tanpa bermaksud untuk menjatuhkan apalagi mempermalukan orang lain.
Namun, porsi yang berlebihan dari ewuh pakewuh ini terhadap tegaknya suatu kebenaran dan keadilan justru akan menghambat bergulirnya roda organisasi dan pencapaian tujuan yang telah ditetapkan bersama.
Tanpa perlu jauh-jauh melihat ke dalam organisasi, di keluarga pun terkadang budaya ini bisa dan terkesan berlebihan. Mengingat dia anak kesayangan dan semata wayang misalnya, ketika dia salah tidak ditegur.
Orangtua (kepala rumah tangga) yang selalu tidak punya waktu di rumah, tidak berani ditegur (sungkarn) hanya karena dia satu-satunya yang mencari nafkah di rumah tersebut.
Di lain pihak, seseorang yang sudah terlalu banyak menerima pemberian (kebaikan) orang lain ketika yang bersangkutan melakukan kesalahan. Mungkin juga dapat terjadi seseorang sulit memberi masukan pada orang lain (mungkin atasannya sekalipun) yang sudah sangat senior dengan segudang kompetensi yang dimiliki.
Ketika "ewuh pakewuh" dirasa sangat berlebihan, maka akan memicu seseorang untuk "Yes Man" atau Asal Bapak Senang (ABS). Di depan berkata iya, tetapi lain dengan kenyataan yang sebenarnya. Padahal tidak ada manusia yang sempuna di dunia ini.
Semua manusia perlu dikoreksi, diluruskan, dan diarahkan dengan baik untuk pencapaian tujuan bersama. Masalahnya bukan apa yang disampaikan, namun bagaimana cara untuk menyampaikannya.
Mungkin lawan kata yang tepat untuk ewuh pakewuh yang berlebihan ini adalah asertif.
Tingkah laku asertif ditandai dengan dua macam cara. Pertama, mempertahankan hak sendiri dengan cara yang tidak mengorbankan hak orang lain. Kedua, mengekspresikan kebutuhan, keinginan, pendapat, perasaan dan keyakinan dengan cara langsung, terus terang dan sopan.
Asertif mengandung pengertian untuk mengatakan dan bertindak sesuai dengan hati nurani dan benar adanya. Hanya dua kutub untuk asertif ini: black (hitam) atau white (putih) bukan gray (abu-abu).
Orang yang bertingkah laku asertif, memiliki keberanian yang sungguh-sungguh untuk mengatakan kebenaran yang ada sekalipun ia siap untuk disenangi orang lain.
Ia berani mengatakan apa yang benar kepada orang lain (sekalipun mungkin tidak mengenakkan hati orang tersebut) tanpa perlu merasa berhutang budi atas perbuatan orang lain terebut. Bahkan, ia akan sangat selektif menerima pemberian orang lain, jika pemberian tersebut nantinya akan mengganggu idealismenya untuk menegakkan kebenaran.
Orang aertif juga mengisyaratkan mereka yang sopan dalam penyampaian pendapat sekalipun pendapatnya tersebut sudah pasti benar. Tidak "ceplas-ceplos" dan "blak blakan" yang terkesan tanpa etika komunikasi.
Ketika setiap individu bersedia mengembangkn tingkah laku asertif, maka banyak keputusan yang dapat segera diambil dan dieksekusi. Iklim yang dibangun pun akan tampak transparan dan terbuka.
Di dalam lingkungan keluarga yang mengembangkan tingkah laku asertif, akan mampu mengantarkan putra-putrinya yang berani berkata benar dan berani pula berkata salah ketika kelak hidup bermasyarakat.
Ayah yang berani berkata benar dengan cara yang santun, akan menjadi teladan yang berwibawa dan bijaksana di keluarganya.
Demikian pula seorang ibu yang mengembangkan tingkah laku aserif dengan cara yang sopan dan lembut akan meningkatkan kedekatan mereka dengan anak-anaknya
Bukankah keluarga dan perusahaan merupakan alat pembelajaran untuk meningkatkan kualitas hidup sebagai manusia?
"Seseorang yang sudah terlalu banyak menerima pemberian (kebaikan) orang lain, akan sulit untuk menegur si pemberi tersebut ketika yang bersangkutan melakukan kesalahan"
Sumber: "Setengah Isi Setengah Kosong"