MANA KAOS KAKI SAYA?

Seorang pemuda yang hendak menikah tiba-tiba merasa tidak percaya diri dan bermaksud mengurungkan niatnya untuk menikah. Alasan yang disampaikan kepada orangtuanya adalah karena kakinya yang selalu bau.

Apa jadinya jika nanti dia harus hidup serumah bersama sang istri dengan kaki yang selalu bau, tentu kehidupan rumah tangganya akan terganggu dan tidak nyaman.

Atas dasar itulah, sang pemuda tidak berminat lagi untuk melanjutkan rencananya untuk menikah.

Untunglah, ayahnya tidak putus asa dan menasihati anaknya bahwa cinta bukan hanya dilandasi oleh hal-hal fisik, melainkan lebih dari itu adalah perhatian, kesungguhan, dan tanggung jawab.

Inilah yang juga diperlukan oleh sang istrinya kelak.

Oleh karena itu, sang ayah menawarkan bagaimana jka sudah menikah nanti, anaknya selalu menggunakan kaus kaki di rumah, dengan alasan dingin dan takut kakinya lecet.

"Wah, usul yang baik," kata sang anak. Apalagi dia telah menerima inspirasi pernikahan yang menyangkut keseluruhan aspek dari ayahnya, sementara kaki bau adalah salah satu aspek penting.

Usul pun diterima dengan baik oleh si anak.

Kini, rasa percaya dirinya untuk menikah bangkit kembali.

Ternyata, di tempat lain, calon istri si pemuda tadi juga mengeluh kepada ibunya.

Sungguh suatu kebetulan yang luar biasa, ternyata ia juga berniat untuk membatalkan pernikahannya.

Alasan yang disampaikan kepada ibunya adalah karena mulutnya yang selalu bau. Bahkan, sangat bau melebihi bau mulut rata-rata orang lain. Hal itu dia rasakan setiap bangun pagi. "Bagaimana sikap suamiku nanti? Tentu sirnalah kecantikan yang aku miliki karena bau mulutku ini," gumamnya.

Adapun sang ibu, ketika mendengar keluhan putrinya menjadi panik, apalagi undangan pernikahan sudah disebar, apa jadinya nanti jika pernikahan itu batal.

Akhirnya, perlahan-lahan sang ibu memberikan nasihat tentang hakikat pernikahan.

Ibu yang bijak itu mengungkapkan bahwa sebuah ikatan perkawinan tidak sekadar berlandaskan hal-hal yang bersifat fisik semata, melainkan lebih dari itu, di dalam sebuah pernikahan ada cinta yang menjadi salah satu faktor penopang penting sebuah perkawinan.

Oleh karena itu, sang ibu menawarkan usulan yang sangat masuk akal, yakni setiap bangun tidur yang pertama kali dilakukan adalah langsung ke kamar mandi dan berkumur-kumur dengan obat kumur dan diusahakan jangan sampai ketahuan suami sebelum berkumur-kumur.

Sebuah solusi sederhana dan mudah untuk dilakukan. Alhasil, pernikahan dua sejoli itu pun berjalan dengan lancar.

Selepas hari bersejarah tersebut, mereka hidup bahagia dengan berusaha untuk menutupi kelemahan masing-masing.

Sang suami memiliki kelemahan kaki yang sangat bau, sedangkan sang istri memiliki mulut yang sangat bau.

Akan tetapi, kehidupan perkawinan yang diliputi usaha untuk menutupi kelemahan diri itu rupanya tidak bertahan lama, seperti kata pepatah, Sepandai pandainya kita menyimpan bangkai, akhirnya etahuan juga.

Hingga pada suatu pagi di bulan kelima pernikahan mereka, sang suami bangun karena sangat kaget satu kaus kakinya terlepas dan perlahan-lahan mulai menyebarkan bau ke selurulh ruangan.

Dia semakin panik untuk mencari satu kaus kaki yang lepas tersebut, sementara istrinya masih tidur.

Dia mulai merangkak ke bawah tempat tidur untuk mencari kaus kaki tersebut, namun kaus kakinya tidak ditemukan. Kemudian, dia membalik-balikkan selimut dan seprei dengan panikan dan gelisah.

Mendengar suara gaduh, sang istri bangun dan kaget hingga lupa "rumus" ibunya, dia berteriak, "Ya ampun, apa-apaan ini Mas, pagi-pagi sudah sibuk dan berantakan sekali. Mas lagi nyari apa?"

Mendengar protes istrinya, sang suami berteriak sangat keras, "Ya ampun, kenapa kaus kaki saya kamu makan?"

"Tulus" (sincere), adalah kata yang abadi dalam membina hubungan antar manusia. Bahkan, ketulusan merupakan bahasa yang dapat didengar oleh orang tuli dan perbuatan yang dapat dilihat oleh orang buta.

Ketulusan sebenarnya sangat berkaitan dengan kematangan pribadi dan kualitas spiritual seseorang ketika berhadapan dengan orang lain.

Nilai yang terkandung di balik ketulusan adalah kejujuran dan integritas.

Beberapa tulisan menyebutkan ketulusan identik dengan burung merpati, sehingga tidaklah mengherankan simbol perdamaian adalah burung merpati.

Makna yang terkandung di dalamnya adalah ketulusan untuk membangun komunitas manusia yang terbebas dari konflik yang berkepanjangan.

Jika dicermati lebih jauh, dalam dunia yang semakin tidak menentu ini diperlukan ketulusan sebagai penyejuk dan pengikat emosi hubungan antar sesamanya.

Mengapa hal ini penting? Karena pada dasarnya, setiap manusia adalah manusia memiliki yang ego yang tinggi. Sebagai ilustrasi, kata DOSA, bahasa Inggrisnya adalah "sin"
Jika diperhatikan lebih lanjut, di tengah-tengah kata SIN ada huruf "I". Ketika setiap orang selalu memikirkan "I" (saya), maka di situlah awal dari munculnya pelanggaran (dosa). 

Ketulusan adalah Inside Out (dari dalam keluar), bukan sebaliknya. Ketulusan yang sungguh-sungguh dan konsisten akan meruntuhkan nilai-nilai kesombongan dan menetralisir kecenderungan untuk menonjolkan diri, sehingga setiap pribadi yang tulus menjadi pribadi yang matang dan disenangi oleh lingkungannya.

Kata "Tulus" sebenarnya diturunkan dari dua kata dalam bahasa Latin, yakni: "sine" dan "cere" yang artinya "tanpa" dan "lilin".  

Konon, ketika membuat perabotan, lilin (dempul) dipergunakan untuk mengisi (atau menutupi) cacat pada kayunya atau cacat akibat kekeliruan tukang kayu.

Dengan terampil, cacat dan lubang-lubang tersebut ditutupi menggunakan lilin (dempul) yang tersedia, sehingga tampak baik untuk dijual.

Padahal, lama-lama ketika terkena panas terik, dempul tersebut perlahan-lahan akan terkelupas dan hilang, Seorang pedagang yang melayani dengan tulus serta memiliki integritas dan kejujuran, akan memberi tanda pada produk-produknya dengan tulisan: "sine cere" (tanpa lilin), untuk menjamin keaslian produk perabotannya dibuat tanpa ada cacat atau dempulan.

jadi, dalam bahasa yang praktis, ketulusan dapat juga dikatakan "apa adanya".

Untuk bisa demikian sangatlah sulit, apalagi manusia secara naluri memiliki mekanisme pertahanan diri untuk menutupi kelemahan masing-masing. Namun, ketika menutupi kelemahannya hanya untuk berkedok kesempurnaan, upaya pertahanan diri ini adalah bentuk dari sebuah kemunafikan.

Sang Pencipta adalah sumber ketulusan itu sendiri. Oleh karena itu, sekecil apa pun upaya manusia untuk menutupi kelemahannya, Sang Pencipta Yang Maha Tahu, juga mengetahuinya dan perlahan-lahan akan terkuak seiring dengan berjalannya waktu.

Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan nilai ketulusan ini salah satunya dengan meningkatkan aktivitas spiritual, bergaul dengan orang-orang yang tulus, membaca buku-buku ber mutu, dan melatih diri untuk tulus.

Selamat melayani dengan tulus dan ketulusan Anda akan mendatangkan banyak teman dan handai taulan.



Sumber:  "Setengah Isi Setengah Kosong"