AIR TERJUN NIAGARA

Suatu kali diadakan sebuah lomba spektakuler, yakni menyeberangi air terjun Niagara di Amerika Serikat.

Para peserta diharuskan menyeberangi ar terjun tersebut dengan menggunakan seutas tali baja dan sebatang tiang pengaman.

Sejak lomba dimulai, beberapa peserta banyak yang sudah mencoba dan gagal. Akan tetapi, ada seorang peserta yang dengan pengalaman dan kepiawaiannya mulai menapaki tali baja tersebut dengan mantap.

Ketika sampai di tengah perjalanan semua penonton semakin takjub, mengingat peserta yang lain sudah berguguran sebelum sampai di setengah perjalanan itu.

Perlahan namun pasti, peserta ini memasuki tiga perempat bagian perjalanan.

Sejenak dia terhenti akibat goyangan yang merusak keseimbangan tubuhnya. Tampaknya, angin yang kuat sangat mempengaruhi usahanya menyelesaikan penyeberangan di air terjun itu.

Pada saat-saat genting tersebut, penonton seolah-olah tersedot dalam emosi yang menakutkan.

Tidak hanya yang terkesima dengan petualangan yang mendebarkan ini, bahkan beberapa penonton sudah mengambil inisiatif untuk menang taruhan.

Akhirnya, dengan segala daya upaya serta konsentrasi dan motivasi yang tinggi, peserta ini berhasil menyeberangi air terjun Niagara dengan disertai tepuk tangan dan penganugerahan medali kehormatan sebagai peserta yang pemberani dan berhasil menyelesaikan tugasnya dengan baik.

Tidak lama kemudian, pria ini didaulat untuk kembali lagi menyeberangi ke tempat asal guna membuktikan bahwa keberhasilannya bukan karena faktor keberuntungan belaka. Tantangan pun diterima si lelaki ini dengan memberikan sebuah pertanyaan.

"Oke, saya akan kembali lagi menyeberangi tempat asal, namun pertanyaan saya adalah apakah Saudara-saudara percaya saya bisa melakukan hal ini?" ungkapnya.

Serentak semua penonton mengatakan, "Percaya!"

Lagi si lelaki tersebut bertanya kepada penonton, "Kalau Saudara percaya saya mampu melakukan hal ini, siapakah di antara Saudara yang bersedia bersama-sama dengan saya menyeberangi kembali air terjun ini?"

Semua penonton terdiam dan seolah-olah tidak bergerak sama sekali.

"Ayo, adakah di antara Saudara yang berani?" tantang lelaki itu.

"Jangan khawatir, saya akan menggendong saudara dan kita bersama-sama menyelesaikan pekerjaan ini!" jelasnya lagi.

Kembali penonton tidak ada yang menjawab. Dalam keheningan, tiba-tiba seorang anak kecil menyeruak kerumunan massa dan mengatakan bersedia.

Akhirnya, perjalanan pun dimulai dan tampaknya memakan waktu lebih lama dari alanan pertama kali tadi. Melewati setengah perjalanan penonton bersorak dengan keyakinan akan tiba di seberang dengan selamat.

Sungguh pertunjukkan yang luar biasa!" ujar seorang reporter televisi yang meliput kejadian ini.

Akhirnya tibalah si lelaki dan anak kecil yang dipundaknya dengan selamat yang disertai dengan sorak-sorai penonton.

Sekarang konsentrasi penonton bukan lagi kepada si lelaki melainkan kepada si anak kecil.

Penasaran dengan keberanian anak kecil ini, dia pun diajak naik ke atas panggung dan diwawancarai oleh panitia lomba.

"Boy, mengapa anda mau mengajukan diri untuk naik bersama-sama dengan laki-laki itu menyeberangi air terjun yang berbahaya ini?" tanya panitia lomba.

"Karena dia adalah bapak saya!" jawab anak itu singkat.

Terdapat perbedaan yang signifikan antara percaya dengan mempercayakan. Sikap penonton  dalam cerita di atas adalah lambang dari rasa "percaya", sedangkan keikutsertaan sang anak  dalam pundak laki-laki tersebut adalah "mempercayakan".

Terkadang manusia berada pada tingkatan percaya kepada Sang Pencipta, namun tidak bersedia secara total mempercayakan hidupnya dalam iman kepadaNya.

Seorang karyawan percaya bahwa perusahaannya mampu menghidupi keluarganya, namun tidak bersedia mempercayakan sepenuhnya akan kemampuan perusahaan tersebut sehingga pekerjaannya sehari-hari tidak fokus.

Seorang istri percaya bahwa suaminya tidak selingkuh dengan wanita lain, namun tidak mempercayakan secara total keyakinannya tersebut, akibatnya rasa cemburu buta dan curiga masih saja mewarnai hubungan mereka.

Seorang pimpinan percaya bahwa staf atau karyawannya mampu menyelesaikan pekerjaan yang ditugaskan pada mereka, namun tidak mempercayakan sepenuhnya.

Alhasil, setiap waktu selalu dikontrol sehingga kreativitas karyawan terkebiri.

Jadi, jika hidup hanya sekadar percaya berarti menunjukkan penyerahan diri yang tidak lengkap terhadap apa yang kita percaya.

Hidup sekadar percaya tidak menuntut komitmen penuh.

Sebagai contoh, seorang pimpinan percaya bahwa armada penjualannya mampu mencapai target bulanan sesuai dengan rapat perencanaan.

Namun, tidak ada komitmen untuk memberikan bimbingan arahan pencapaian tersebut.

Di pihak lain "percaya" merupakan langkah awal sebelum masuk pada "mempercayakan".

Anak kecil dalam cerita di atas tidak mungkin dia mempercayakan perjalanan penyeberangan jika dia tidak terlebih dahulu percaya bahwa itu bapaknya. Percaya bahwa bapaknya pasti mampu melakukan hal tersebut.

Hidup yang mempercayakan merupakan penyerahan secara total kehidupan kita setelah kita mengetahui siapa yang kita percayai.

Hidup yang memercayakan bukan berarti menyerah secara total dan pasrah tanpa penyertaan akal budi untuk melihat realitas yang ada.

Ketika seorang karyawan mempercayakan kehidupan ekonomi dan kariernya di perusahaan, berarti dia telah mengetahui seluk-beluk perusahaan tersebut dan yakin bahwa perusahaan akan mampu memberikan kompensasi yang seimbang atas jerih payah yang diberikan.

Di samping itu, hidup yang mempercayakan memiliki tuntutan untuk berkontribusi terhadap yang dipercaya tersebut.

Seorang karyawan yang mempercayakan diri dan keluarga pada perusahaan akan mengembangkan rasa memiliki terhadap perusahan.

Baginya, dia akan berpikir dua kali jika akan melakukan hal-hal yang merugikan perusahaan, karena perusahaan adalah lahan pertanian yang arus dirawat supaya tetap menghasilkan.

Perusahaan atau pimpinan yang mempercayakan pekerjaan kepada karyawan juga memberi penugasan yang jelas, cara kerja yang jelas, serta standar hasil yang telah disepakati bersama.

Bahkan, tim akan semakin solid dan memiliki performansi tinggi (High Performance Team) pada saat seluruh anggota dan pengurusnya saling mempercayakan diri.

Dalam kehidupan spiritual, mempercayakan diri kepada Sang Pencipta berarti sadar bahwa Dia Maha Kuasa dan Maha Tahu serta Maha Besar.

Mempercayakan diri kepada Sang Pencipta berarti mengenal Dia melalui kehidupan ibadah yang baik, membaca Kitab Suci, beramal kepada sesama, dan sebagainya.

Terkadang dalam pengakuannya, manusia percaya kepada Kebesaran dan Kemahakuasaan Sang Pencipta, namun tidak melakukan penyerahan secara total sehingga dia tetap saja merasa khawatir dan gentar ketika menghadapi permasalahan besar.

Kadang-kadang kita perlu seperti anak kecil dalam cerita di atas mempercayakan secara total apa yang menjadi pergumulan hidup saat ini, karena kita mengenal siapa yang kita percaya.



Sumber:  "Setengah Isi Setengah Kosong"