Hukum Pidana Korupsi
Apa dan bagaimana bentuk penyidik tindak pidana korupsi?
Jawab:
Pada dasarnya, dalam suatu perkara pidana, yang berwenang melakukan penyidikan adalah penyidik sebagaimana disebut dalam Pasal 1 angka 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”):
“Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.”
Adapun arti penyidikan berdasarkan Pasal 1 angka 2 KUHAP adalah:
“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.”
Dari definisi penyidik dalam KUHAP di atas dapat kita ketahui bahwa penyidik itu bisa merupakan pejabat kepolisian, bisa juga pejabat pegawai negeri sipil (PNS) tertentu yang memang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.
Apa yang dimaksud dengan Pembuktian terbalik dalam hukum pidana?
Jawab
Sistem Pembuktian Terbalik sebagaimana disebutkan dalam penjelasan UU No. 31 tahun 1999 ialah terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isterinya atau suami, anak, dan setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan dan penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Beban pembuktian terbalik ini bersifat terbatas dan berimbang. Kata-kata bersifat terbatas dapat diartikan bahwa apabila terdakwa dapat membuktikan dalilnya ia tidak melakukan korupsi tidak berarti terdakwa tidak terbukti melakukan korupsi sebab penuntut umum masih berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.
Sistem pembuktian terbalik berimbang bahwa seorang terdakwa wajib membuktikan kekayaan yang dimilikinya adalah bukan dari hasil korupsi. Dan jika terdakwa dapat membuktikan bahwa kekayaannya diperoleh bukan dari hasil korupsi, dan hakim berdasarkan bukti-bukti yang ada membenarkannya, maka terdakwa wajib dibebaskan dari segala dakwaan. Jika yang terjadi adalah sebaliknya, maka terdakwa terbukti bersalah dan dijatuhi pidana.
Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 memuat delik mengenai adanya sistem pembuktian terbalik. Sistem pembuktian terbalik yaitu sistem dimana beban pembuktian berada pada terdakwa dan proses pembuktian ini hanya berlaku pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan dengan dimungkinkannya dilakukan pemeriksaan tambahan atau khusus jika dalam pemeriksaan persidangan diketemukan harta benda milik terdakwa yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi namun hal tersebut belum didakwakan, bahkan jika putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, tetapi diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi, maka negara dapat melakukan gugatan terhadap terpidana atau ahli warisnya.
Di dalam undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, Pembuktian Terbalik (Pembalikan Beban Pembuktian) merupakan ketentuan yang bersifat premium remidium dan sekaligus mengandung sifat prevensi khusus terhadap pegawai negeri sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 1 angka 2 atau terhadap penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi.
Jelaskan apa yang dimaksud dengan Pembuktian terbalik dalam tindak pidana korupsi?
Jawab:
Sebagaimana diketahui bahwa dalam suatu ketentuan khusus seperti Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dikenal adanya sistem pembuktian terbalik seperti yang diatur dalam Pasal 37 yang tertulis :
(1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi.
(2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan baginya.
(3) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan.
(4) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.
(5) Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.
Sistem pembuktian terbalik ini merupakan hal baru dan suatu terobosan dalam membuktikan suatu tindak pidana khususnya tindak pidana korupsi, sistem ini pada intinya memberikan kesempatan kepada terdakwa untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah melakukan tindak pidana korupsi, dan apabila terdakwa tidak mampu membuktikan asal-usul kekayaan yang dimilikinya atau yang diduga sebagai hasil korupsi, maka dapat dikatakan bahwa terdakwa terbukti melakukan tindak pidana korupsi.
Jelaskan peranan dan pembuktian menurut KUHP (Kitab Undang-undang Acara Pidana)?
Jawab
Pengertian “pembuktian” secara umum adalah ketentuan-ketentuan yang yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang dalam membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan oleh hakim guna membuktikan kesalahan yang didakwakan.
Adapun sistem Pembuktian yang diatur dalam KUHAP tercantum dalam Pasal 183 yang rumusannya adalah sebagai berikut : ” Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa yang bersalah melakukannya.”
Dari rumusan Pasal 183 tersebut, terlihat bahwa pembuktian harus didasarkan sedikitnya pada dua alat bukti yang sah, disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut. Artinya, tersedianya minimum dua alat bukti saja, belum cukup untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa. Sebaliknya, meskipun hakim sudah yakin terhadap kesalahan terdakwa, maka jika tidak tersedia minimum dua alat bukti, hakim juga belum dapat menjatuhkan pidana terhadap terdakwa. Dalam hal inilah penjatuhan pidana terhadap seorang terdakwa haruslah memenuhi dua syarat mutlak, yaitu alat bukti yang cukup dan keyakinan hakim. Sistem pembuktian tersebut terkenal dengan nama sistem negative wettelijk.
Dalam Penjelasan Pasal 183 KUHAP tersebut dinyatakan bahwa Pembentuk Undang Undang telah menentukan pilihan bahwa sistem pembuktian yang paling tepat dalam kehidupan penegakan hukum di Indonesia adalah sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif, semi tegaknya keadilan, kebenaran dan kepastian hukum. Karena dalam sistem pembuktian ini, terpadu kesatuan penggabungan antara sistem conviction-in time (sistem pembuktian yang hanya bersandar atas keyakinan hakim) dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif (positief wettelijk stelsel).
Ketentuan dalam Pasal 183 KUHAP tersebut hampir identik dengan ketentuan dalam Pasal 6 UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu :
“Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.”
Oleh karena itu, konsep keyakinan hakim tersebut baru dapat terbentuk dengan didasarkan pada adanya alat bukti yang sah menurut KUHAP. Keyakinan hakim yang akan terbentuk tersebut pada akhirnya nanti hanya terdiri dari dua macam, yaitu keyakinan bahwa terdakwa tidak terbukti bersalah atau sebaliknya keyakinan bahwa terdakwa terbukti bersalah.
Aktualisasi dari kombinasi kedua konsep dalam ketentuan pasal 183 KUHAP tersebut dapat dilihat dalam rumusan kalimat baku setiap diktum putusan perkara pidana yang menyatakan “secara sah dan meyakinkan”. Kata “sah” dalam hal ini berarti bahwa hakim dalam memberikan putusan tersebut didasarkan pada alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam KUHAP dan peraturan perundang-undangan lainnya. Sedangkan kata “meyakinkan” dalam hal ini berarti bahwa dari alat bukti yang sah tersebut maka terbentuk keyakinan hakim.
Rumusan sistem pembuktian tersebut tentunya untuk mendukung tujuan dari hukum acara pidana, yaitu untuk mencari dan memperoleh kebenaran materiil. Dengan tercapainya kebenaran materiil maka akan tercapai pula tujuan akhir hukum acara pidana, yaitu untuk mencapai suatu ketertiban, ketentraman, keadilan dan kesejahteraan dalam masyarakat.Adapun yang dimaksud dengan alat-alat bukti yang sah adalah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 184 KUHAP, yaitu :
- keterangan saksi;
- keterangan ahli;
- surat;
- petunjuk;
- keterangan terdakwa.
Dengan demikian, untuk dapat menjatuhkan pemidanaan kepada seseorang haruslah terdapat minimal dua alat bukti dari lima alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP yang mengatur secara limitatif alat bukti yang sah menurut undang-undang. Hal tersebut diatas, juga mengisyaratkan bahwa KUHAP juga menganut prinsip Batas Minimum Pembuktian yang mengatur batas tentang keharusan yang dipenuhi dalam membuktikan kesalahan terdakwa.
Selain kelima alat bukti tersebut, tidak dibenarkan untuk dipergunakan dalam pembuktian kesalahan terdakwa. Alat bukti yang dibenarkan dan mempunyai kekuatan pembuktian hanyalah kelima alat bukti tersebut. Pembuktian dengan alat bukti diluar kelima alat bukti diatas, tidak mempunyai nilai serta tidak mempunyai kekuatan yang mengikat. Dalam hal ini, baik Hakim, Penuntut Umum, terdakwa maupun Penasehat Hukum, semuanya terikat pada ketentuan tata cara dan penilaian alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang
Apa perbedaan Tindak Pindana Korupsi Suap dengan Tindak Pidana Gratifikasi?
Jawab
Suap
Pengertian suap adalah tindakan dengan memberikan sejumlah uang atau barang atau perjanjian khusus kepada seseorang yang mempunyai otoritas atau yang dipercaya. Contoh suap adalah seorang pengusaha memberikan sejumlah uang kepada seorang atau beberapa pejabat pemerintahan daerah, agar diberikan kemudahan dalam proses perizinan membuka usaha di daerah tersebut. Tujuan suap yang dilakukan oleh seseorang adalah untuk dapat mempengaruhi pengambilan keputusan dari orang atau pejabat atau pegawai yang berwenang dalam pengambilan suatu keputusan, agar sesui dengan keinginan orang yang memberikan suap tersebut. Karena tujuan suap tersebut untuk mempermudah urusan maka suap biasa disebut juga sebagai uang pelicin atau sogok
Bentuk suap tidak hanya berbentuk uang, tetapi bisa juga berbentuk barang seperti motor, mobil, rumah, tanah, perhiasan, dan barang berharga lainnya. Bisa juga dengan bentuk suatu perjanjian yang menguntungkan pihak penerima suap.
Gratifikasi
Pengertian gratifikasi adalah suatu pemberian dalam arti luas, yaitu meliputi uang, pemberian biaya tambahan, barang, diskon, komisi pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tidak. Walaupun batas minimum belum ada, namun ada usulan pemerintah melalui Menkominfo pada tahun 2005 bahwa pemberian dibawah Rp. 250.000,- supaya tidak dimasukkan ke dalam kelompok gratifikasi. Namun hal ini belum diputuskan dan masih dalam wacana diskusi. Dilain pihak masyarakat sebagai pelapor dan melaporkan gratifikasi di atas Rp. 250.000,- wajib dilindungi sesuai PP 71/2000. Contoh gratifikasi adalah penyediaan biaya tambahan 20 persen dari nilai proyek, parsel ponsel canggih keluaran terbaru dari pengusaha ke pejabat, perjalanan wisata bagi bupati menjelang akhir jabatan, hadiah pernikahan untuk keluarga PNS yang melewati batas kewajaran, cinderamata bagi guru (PNS) setelah pembagian rapor/kelulusan dan masih banyak contoh-contoh gratifikasi lainnya.
Perbedaan Suap dan Gratifikasi
Suap diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73), UU No. 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap (“UU 11/1980”), UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta diatur pula dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (“UU Pemberantasan Tipikor”). Sedangkan Gratifikasi diatur dalam UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta diatur pula dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (“UU Pemberantasan Tipikor”), Peraturan Menteri Keuangan Nomor 03/PMK.06/2011 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara yang Berasal Dari Barang Rampasan Negara dan Barang Gratifikasi.